Tuesday, June 24, 2008

Cerita lain tentang ingatan masa kecil

Perbedaan yang berada di sekeliling kita bisa menjadi alat pemersatu atau sebaliknya. Begitu juga perbedaan agama dan keyakinan. Ingatan kembali ke masa kecil awal tahun 1980-an ketika seseorang menanyakan kepada saya, "kon melu (anda ikut/penganut) NU (Nahdlatul Ulama) apa melu Muhammadiyah". Saya tertegun sejenak, kemudian menjawab bahwa saya tidak ikut keduanya, tetapi saya (beragama) Islam. Kawan saya mendesak saya dengan menyampaikan bahwa saya harus memilih salah satu. Saat itu, perbedaan/khilafiyah antar pengikut kedua organisasi tersebut sangat tajam, hingga mempengaruhi cara pandang anak-anak dalam bergaul dengan sesamanya. Bahkan ada Masjid Agung Baiturrahim Bumiayu yang pengurusnya dari kalangan NU dan Masjid Istiqlal Dukuhturi dari kalangan Muhammadiyah.
Kebetulan saya bersekolah di SD Islam Ta'allumulhuda Bumiayu yang mengajarkan tentang hidup rukun meskipun berbeda keyakinan. Para gurunya mengajarkan cara-cara beribadah dari kedua pandangan tersebut. Saya ingat diajarkan tentang do'a iftitah versi NU dan Muhammadiyah, dan doa-doa lainnya yang masing-masing agak berbeda. Para murid dipersilakan untuk memilih yang mana yang mereka sukai untuk melakukannya. Mereka juga selalu menekankan bahwa yang tidak beribadah itu yang salah. Pada banyak kesempatan, mereka menyampaikan bahwa jangan sampai kita hanya berdebat tentang do'a qunut semalaman, kemudian bangun kesiangan sehingga waktu sholat shubuh terlewat. Siswa-siswa kelas lima atau enam diminta oleh para gurunya untuk silaturahmi kepada tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah Bumiayu, juga datang kepada pimpinan organisasi kepemudaan dari kedua pihak. Selanjutnya saya memilih untuk beribadah dengan cara-cara NU.
Pada suatu kesempatan, beberapa tahun kemudian, saya bertemu dengan alm. Bapak Ali Asraf, pensiunan pegawai Ditjen Pajak yang menceritakan bahwa dulu, dia dan kawan-kawan di Jakarta yang berasal dari Bumiayu mengundang ulama besar Buya Hamka sebagai pimpinan Muhammadiyah untuk datang ke Bumiayu untuk meredam ketegangan yang ada pada saat itu. Buya Hamka dimohon untuk menyampaikan ceramah tentang pentingnya persatuan dan perdamaian. Yang kami ingat waktu itu adalah Buya Hamka sholat shubuh di Masjid Baiturrahim dengan melakukan doa qunut, sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan NU. Sejak saat itu, perbedaan-perbedaan yang terjadi semakin menghilang.
Kejadian yang mengagetkan saya bertahun-tahun kemudian setelah kejadian masa kecil tersebut terjadi di Jakarta. Saya mendengar pendapat picik dari seseorang yang mengatakan bahwa saya menduduki jabatan karena faham keagamaan saya. Dalam hati saya bergumam, di abad 21 ini kok masih ada orang yang mempunyai pikiran seperti itu, kejadiannya di Jakarta lagi, sebagai kota metropolitan, cape dech, atau bisa jadi memang seperti itu?

No comments: