Wednesday, February 25, 2009

Kampanye

Menjelang Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2009 ini semakin banyak banner yang dipasang diberbagai tempat, tiang listrik; pepohonan; atap, tembok, dan pagar rumah, padahal KPU telah mengeluarkan pedoman jadwal kampanye pemilu DPRD, DPD, dan DPRD selama 21 hari dari tanggal 16 Maret - 5 April 2009. Kondisi semacam itu membuat jalan-jalan terlihat menjadi semakin kumuh. Pepohonan menjadi rusak. Sungguh sangat disayangkan apabila pesta demokrasi citranya dirusak oleh para calon wakil rakyat. Kalau dalam proses pemilihan mereka tega merusak lingkungan, bagaimana nanti kalau sampai terpilih sebagai anggota DPR dan DPRD yang terhormat?
Mungkin ada cara kampanye lain yang lebih santun, misalnya dengan iklan melalui media massa cetak maupun elektronik, internet. Mereka juga bisa menawarkan programnya "door to door", Atau dengan menawarkan bonus gratis yang akan diundi bagi para pemilihnya untuk ziarah keagamaan atau dapat mobil dan lain sebagainya.
Ada juga model kampanye lain yaitu dengan memberikan uang atau sembako kepada masyarakat di daerah pemilihannya, seperti cerita istri tercinta bahwa dia menerima sembako dari salah seorang caleg. Bersyukur juga beberapa hari tidak belanja :). Apalagi kalau semua caleg melakukan itu, saya yakin masyarakat di dapil-nya akan sejahtera. Asal setelah menjabat tidak melakukan korupsi dengan alasan untuk menutupi sekian banyak dana yang sudah dikeluarkan (supaya balik modal).
Misalnya untuk daerah pemilihan Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri. Data kependudukan tahun 2007 menyatakan bahwa di Jakarta Pusat terdapat 900.000 jiwa. Kalau satu jiwa mendapat Rp. 10 juta, maka akan ada dana yang dikeluarkan sebesar Rp. 9 triliun. Dana sembilan triliun yang dikeluarkan bisa ditanggung bersama oleh semua caleg. Ditambah untuk sebagian pemilih luar negeri yang berjumlah "hanya" 1.540.089 surat suara dan Jaksel yang mungkin penduduknya tidak berbeda jauh angkanya dengan Jakpus.


Monday, February 23, 2009

Gaji Naek

Rasanya seneng banget baca berita gaji PNS tahun 2009 mau naek sebanyak 15 %. Seneng juga denger gaji anggota DPR dan Menteri nggak naek (gak ada hubungannya). Kalau hal ini terjadi secara berkelanjutan, maka gaji PNS akan menyamai gaji anggota DPR dan Pejabat Negara (tapi nggak tahu kapan, tapi gue terus berharap). Paling tidak gue mengapresiasi upaya pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Meskipun kalau dihitung-hitung beban gue masih berat baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maupun kreditan/hutang di Bank DKI dan angsuran rumah melalui Bank BTN. Istri kemarin cerita, harga emas per gram Rp. 300 ribu dan harga sayur kangkung yang biasanya "cuma" Rp. 1.500, sekarang udah Rp. 5.000. Mudah-mudahan adanya kabar kenaikan gaji PNS tidak akan membuat harga kebutuhan pokok bertambah naik. Isu yang gue denger bahwa kenaikan harga barang-barang akan terus terjadi sampai Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden selesai dilaksanakan.

Teman (lagi)

Ada sms masuk ke hp gue yang bunyinya, "saya kerja di pengadaan barang dan ATK bisa bantu gak?" Repot juga ya kalau ada kawan yang minta bantuan untuk bisa mendapatkan proyek yang bukan menjadi tugas gue. Apalagi kalau permintaan itu juga datang dari famili, tetangga, orang gedean. Yang bisa gue sampaikan kepada dia adalah bahwa silakan mengikuti pelelangan yang diadakan oleh panitia pengadaan barang dan jasa. Pengumuman tentang itu bisa dilihat di website dan semua orang bisa mengaksesnya.

Thursday, February 5, 2009

Teman

Belum lama gue ketemu temen kuliah. Setelah ngobrol panjang lebar tentang masa lalu, dia menceritakan mengenai kondisi ekonominya yang kurang menguntungkan akibat dari berpindah-pindah kerja. Dia juga cerita tentang kawan-kawan yang sudah mapan, juga yang berupaya bangkit dari keterpurukan akibat peralatan photo copy- nya dijarah orang pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kawan lainnya menjadi sopir angkot. Gue bersyukur banget hidup gue enggak segetir mereka. Mudahan-mudahan hidup gue terus berjalan dengan baik dan gue mendoakan kesuksesan buat temen-temen gue. amin.

Kisah

Sekitar 10 tahun lalu saya harus berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Peristiwa itu bermula ketika saya datang di Sydney, Australia pada bulan Juni 1998 dan seminggu setelah itu saya sudah harus mengikuti perkuliahan di the University of Sydney. Persiapan melalui kursus English For Academic Purposes IV di Jakarta saya rasakan tidak cukup untuk mengikuti budaya baca di kampus. Saya harus mengambil beberapa mata kuliah yang setiap minggunya mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan tema yang diberikan oleh dosen seminggu sebelumnya. Biasanya rata-rata bacaan wajib minimal 4 buku dengan beberapa puluh buku sebagai bacaan setengah wajib. Mau tidak mau saya harus membaca buku-buku tersebut dengan telaten, karena akan sangat malu bagi saya ketika tiba saat perkuliahan saya diam saja tidak ikut berkomentar, karena pada setiap pertemuan dibentuk beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan tema yang diberikan oleh dosen sebelum kemudian kelompok kecil tersebut bergabung kembali dengan kelompok-kelompok lain dalam satu kelas untuk mendiskusikan tema tersebut bersama-sama. Apabila dalam kelompok kecil saya tidak berpendapat, akan kelihatan sekali belum membaca.
Saya merasa terbantu sekali dengan koleksi yang lengkap dari perpustakaan. Jarang sekali saya menunggu suatu buku yang diperlukan karena sedang dipinjam orang lain, mengingat biasanya terdapat beberapa buku yang sama. Sehingga ketika beberapa buku sedang dipinjam, masih ada beberapa buku lainnya di rak. Perpustakaan tersebut juga bisa membantu saya meminjamkan suatu buku yang berada di perpustakaan di negara lain. Penguasaan Bahasa Inggris secara verbal dengan baik menjadi suatu keharusan agar bisa dimengerti oleh orang lain. Kadangkala saya meminta beberapa kawan untuk mengulang apa yang diucapkan karena saya tidak mengerti apa yang mereka katakan. Hal ini terjadi ketika mereka bicara sangat cepat dengan logat Australia-nya yang berbeda dengan logat Amerika atau beberapa dari mereka yang berasal dari Jepang yang seringkali tidak jelas dalam pengucapannya.
Budaya pemanfaatan teknologi informasi juga menjadi kendala. Pada awal kedatangan, saya masih belum terbiasa dengan internet, baru tahu sedikit tentang e-mail, sampai sekarang :). Pada saat itu, diskusi juga dilakukan melalui website yang dipandu oleh para dosen. Masing-masing siswa diberi password untuk mengaksesnya. Pemakaian internet saat itu tidak menjadi kendala. Kampus memberikan waktu selama 24 jam bagi mahasiswanya untuk menggunakan laboratorium komputer yang ada. Di tempat kos, akses internet bisa dilakukan dengan menyambungkan line telepon ke PC atau Laptop. Biayanya 30 sen AUD flat rate setiap kali menggunakan internet (speedy personal dari Telkomsel saat ini biayanya perbulan sekitar Rp. 200,000 dengan penggunaan yang dibatasi). Jadi berapa jam pun upload atau download bayarnya tetap.
Jadi menurut saya, sistem perkuliahan tatap muka masih menjadi keharusan karena masih diperlukan untuk membiasakan bicara di depan orang lain guna mempertahankan argumentasi. Disamping itu juga bisa dilakukan untuk menggali ide-ide baru yang tidak sempat ditulis dalam diskusi melalui pembelajaran jarak jauh.
Saya kira di Indonesia pembelajaran dengan tatap muka masih diperlukan, karena masih terbatasnya buku-buku dan akses internet yang mahal. Namun sedikit demi sedikit, harus dilakukan perubahan pola pembelajaran dengan lebih banyak belajar mandiri dan bertanggung jawab.