Thursday, February 5, 2009

Kisah

Sekitar 10 tahun lalu saya harus berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Peristiwa itu bermula ketika saya datang di Sydney, Australia pada bulan Juni 1998 dan seminggu setelah itu saya sudah harus mengikuti perkuliahan di the University of Sydney. Persiapan melalui kursus English For Academic Purposes IV di Jakarta saya rasakan tidak cukup untuk mengikuti budaya baca di kampus. Saya harus mengambil beberapa mata kuliah yang setiap minggunya mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan tema yang diberikan oleh dosen seminggu sebelumnya. Biasanya rata-rata bacaan wajib minimal 4 buku dengan beberapa puluh buku sebagai bacaan setengah wajib. Mau tidak mau saya harus membaca buku-buku tersebut dengan telaten, karena akan sangat malu bagi saya ketika tiba saat perkuliahan saya diam saja tidak ikut berkomentar, karena pada setiap pertemuan dibentuk beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan tema yang diberikan oleh dosen sebelum kemudian kelompok kecil tersebut bergabung kembali dengan kelompok-kelompok lain dalam satu kelas untuk mendiskusikan tema tersebut bersama-sama. Apabila dalam kelompok kecil saya tidak berpendapat, akan kelihatan sekali belum membaca.
Saya merasa terbantu sekali dengan koleksi yang lengkap dari perpustakaan. Jarang sekali saya menunggu suatu buku yang diperlukan karena sedang dipinjam orang lain, mengingat biasanya terdapat beberapa buku yang sama. Sehingga ketika beberapa buku sedang dipinjam, masih ada beberapa buku lainnya di rak. Perpustakaan tersebut juga bisa membantu saya meminjamkan suatu buku yang berada di perpustakaan di negara lain. Penguasaan Bahasa Inggris secara verbal dengan baik menjadi suatu keharusan agar bisa dimengerti oleh orang lain. Kadangkala saya meminta beberapa kawan untuk mengulang apa yang diucapkan karena saya tidak mengerti apa yang mereka katakan. Hal ini terjadi ketika mereka bicara sangat cepat dengan logat Australia-nya yang berbeda dengan logat Amerika atau beberapa dari mereka yang berasal dari Jepang yang seringkali tidak jelas dalam pengucapannya.
Budaya pemanfaatan teknologi informasi juga menjadi kendala. Pada awal kedatangan, saya masih belum terbiasa dengan internet, baru tahu sedikit tentang e-mail, sampai sekarang :). Pada saat itu, diskusi juga dilakukan melalui website yang dipandu oleh para dosen. Masing-masing siswa diberi password untuk mengaksesnya. Pemakaian internet saat itu tidak menjadi kendala. Kampus memberikan waktu selama 24 jam bagi mahasiswanya untuk menggunakan laboratorium komputer yang ada. Di tempat kos, akses internet bisa dilakukan dengan menyambungkan line telepon ke PC atau Laptop. Biayanya 30 sen AUD flat rate setiap kali menggunakan internet (speedy personal dari Telkomsel saat ini biayanya perbulan sekitar Rp. 200,000 dengan penggunaan yang dibatasi). Jadi berapa jam pun upload atau download bayarnya tetap.
Jadi menurut saya, sistem perkuliahan tatap muka masih menjadi keharusan karena masih diperlukan untuk membiasakan bicara di depan orang lain guna mempertahankan argumentasi. Disamping itu juga bisa dilakukan untuk menggali ide-ide baru yang tidak sempat ditulis dalam diskusi melalui pembelajaran jarak jauh.
Saya kira di Indonesia pembelajaran dengan tatap muka masih diperlukan, karena masih terbatasnya buku-buku dan akses internet yang mahal. Namun sedikit demi sedikit, harus dilakukan perubahan pola pembelajaran dengan lebih banyak belajar mandiri dan bertanggung jawab.

No comments: